Seminar ParenThink : Komunikasi Asik dengan Anak

Orangtua penggiat dunia maya pasti udah sering (atau setidaknya pernah) liat lah ya akun @Parenthink, @sigoloktoge, @mratuliu. Salah satu dari sekian banyak akun yang berbagi ilmu tentang pengasuhan dan pendidikan anak.

Syukurlah kemarin dapet kesempatan buat ikut seminar Mona-Toge di Malang, sekalian deh saya geret ayah juga biar ikut meskipun galau dari dua bulan lalu adalah "anak-anak mau dikemanain?", karena sejujurnya nggak enak bawa anak ke seminar, bukan hanya kitanya terdistraksi tapi juga barangkali ada orang lain yang terganggu. Jadinya 2 seat yang udah dibooking baru saya bayar satu, rencananya mau nyemplungin ayah aja yang pergi sendirian, dengan alasan saya jagain Ali yang gak bisa minum asip. Bukan karena ngerasa saya udah banyak ilmunya daripada ayah, cuma kalo saya kan punya waktu buat baca-baca di twitter, browsing, dll...sementara ayah sehari-hari sibuk ngantor, dan dia last tweetnya aja 2th lalu, isinya pun cuma "tes" "halo ibu" -____-" 

But there is a will, there is a way...setelah meneror panitia, akhirnya dikabari bahwa akan ada kids corner di venue dan bayi < 1th boleh dibawa ke tempat seminar. Buru-buru deh bayar satu seat lagi, taunya pop! mertua tiba-tiba dateng. Cuss deh, mari ayah kita belajar! 

Tema seminar kemarin adalah "Komunikasi Asik dengan Anak", well...kalo udah punya anak toddler emang baru kerasa nih ya kebutuhan bagaimana cara membangun komunikasi yang baik dan menyampaikan arahan yang mudah dipahami anak. Dari beberapa point yang dicatat, saya interpretasikan lewat sharing ilmu di sini.

1. Ada video yang diputar di awal seminar, yakni video tentang bullying dimana seorang anak perempuan jalan di lorong sekolah, trus di ujung lorong ada sekumpulan anak perempuan lain yang lagi ngomongin dia. Begitu dia lewat cewe-cewe itu, hujaman kata-kata ejekan menampar pipinya, mendorong badannya, mukulin dia dari berbagai arah, sampai si anak lari ketakutan sambil nangis. Yang waktu sekolahnya jadi senior yang suka gencet-gencetin juniornya, ngaku!! 

Video berakhir dengan tag line : Words hurt. Don't be a part of it. 

Saya bukan senior yang galak, suka ngegencet, atau iri karena ada junior cantik yang jadian sama gebetan kita. I wasn't a senior-bullyer, tapi gimana dengan parent-bullyer? Sadarkah kita bahwa kata-kata kamu nakal, gak mau diem, lebay, jelek dan sejumlah kata-kata negatif lain yang dilontarkan ke muka anak itu adalah 'cap' yang diam-diam kita tancapkan sendiri di otak anak sehingga dia merasa bahwa dia adalah seperti yang orangtuanya bilang kepadanya. 

Nggak cuma kata-kata negatif, 'bullying' pada anak juga termasuk membandingkan (dengan anak lain atau dengan saudara kandung), menyalahkan dan meremehkan anak. 

Kita tidak suka dihakimi dibilang ini itu sama orang, tapi kita sendiri menjudge anak ini itu. Makjleb.

2. Untuk membangun komunikasi asik dengan anak, kita juga perlu bergaul lahir batin dengan anak. Apa kita udah melakukan itu? mungkin aja kita selalu 24 jam dengan anak, tapi cuma fisik aja yang hadir, hatinya enggak dan anak-anak bisa merasakan itu sehingga dia bertingkah rewel, manja, tantrum untuk 'menyadarkan' orangtuanya tentang kehadiran si anak...itu semua karena dia merasa bahwa ortunya hanya hadir secara fisik, tidak dengan hati.

Pernah kejadian gak ketika kita lagi stress, bisa kerjaan numpuk, bete sama suami atau gak punya duit eh terus mendadak anak jadi super rewel, bertingkah, manja dsb. Nyambung? iya, karena secara alamiah anak yang masih polos menjalin koneksi dengan 'rasa', dan energi-energi yang dia rasakan setiap hari, termasuk energi monster orangtuanya, akan mengalir juga ke anak.

Makanya saat anak nangis, kita berteriak "diam!" si anak akan makin berteriak. Semakin kita marah, semakin keras nangisnya. Semakin kita stress, anak semakin rewel. Terus aja gitu gak abis-abis. Jleb jleb. 

Catatan gue : ini sungguhlah menohok keseharian gue dimana pernah gue tumpahkan di sini, well...janganlah diambil ekstrim 24 jam hadir lahir-batin sama anak jadi di bbm gak bales, twitter vakum, blog berdebu, gak sempet ngurus diri, lupa bersenang-senang dll yaahh..hehehe ;p

3. Apa kita pernah punya konsep bahwa anak penurut itu baik? pernah nggak bilang ke anak "pokoknya apa kata mama, kamu harus turutin..." . Hati-hati, itu bisa jadi bumerang. Anak itu sejatinya memang penurut alias peniru ulung orangtuanya tanpa harus disuruh. Kita ortu ngaca deh, udah yakin kita selalu bener dan layak untuk diturut? Jangan-jangan kalo kita error, tetep diturutin juga sama anak? Udah rela? 

Bagaimana anak-anak melihat ketika kita marah-marah dengan teriak, maki, lempar-lempar barang, Bagaimana anak-anak mencontoh kita yang nggak punya kepedulian sama sekitar, buang sampah sembarangan, nyelak antrian, berbuat curang dan perilaku konsumtif. 
Bagaimana anak-anak mendengar kita berbohong kepada orang lain, atau justru berbohong kepadanya. 

Jangan heran kalo pelan-pelan kita melihat jelmaan diri sendiri muncul dalam sosok yang lain, dengan hal-hal negatif yang dia turutin. Anak kita. 

Children See, Children Do. 
Make your influence positive.

4. Kita juga suka lupa, seringkali memutuskan sendiri kepentingan/kebutuhan anak dengan alasan anak belum bisa mikir, belum tau mana yang bener, jadi kitalah yang harus memutuskan mana yang baik/enggak, anak tinggal nurut aja sama yang udah diputuskan ortu. Kalo anak gak mau, ortu mencap anaknya tidak nurut.

Setiap hari hidup itu tentang mengambil keputusan, biarkan anak belajar mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas keputusannya itu. Ortu gak bisa 100% sama anak, kalo apa-apa selalu kita yang memutuskan, gimana kalo kita nggak ada? anak akan kehilangan arah, gak bisa memutuskan sendiri dan akibatnya dia akan cari 'kusir' untuk memutuskan dia harus gimana/kemana. Iya kalo di luar sana ketemu pergaulan yang bener, anak kita kebawa bener, kalo ternyata *ketok meja* orang-orang di luar sana memanfaatkan posisi untuk jadi kusir anak kita, gimana?

Ajarkan anak bukan menjadi penurut, tapi mandiri. Mandiri yang artinya dia bisa membuat keputusan dan bertanggung jawab dengan keputusan itu. Hal-hal simpel aja untuk anak kecil semisal hari ini mau pake baju apa, trus hargai keputusannya meskipun ternyata menimbulkan konsekuensi bagi anak. Misal, saat cuaca lagi dingin dia milih pake kaos buntung dan celana pendek, trus dia kedinginan....reaksi kita saat anak bilang "ma, dingin.." adalah bukan nyalahin "makanya nurut kalo disuruh pake baju panjang, mama kan tau ini hujan kamu pasti kedinginan" Lah....si anak jadi nggak merasakan konsekuensi keputusannya, karena yang bilang 'baju panjang', 'hujan', 'dingin', itu adalah mama, bukan anak sendiri yang merasakan. 

Akibatnya, anak jadi males mikir (karena males ribut sama ortu) dan kebiasaan bilang "terserah". Ketika saat itu tiba, ortu yang balik bete karena bingung ni anak maunya apa sih. Hyaahh, tarakdungjleb.


5. Butuh kesanggupan bagi anak untuk melakukan yang gak enak, tapi perlu. Pertukaran pesan antara ortu-anak suka gak klop karena beda sudut pandang. Jangkauan pikir anak masih pada tahap enak/gak enak, sementara kita perlu/gak perlu.


Karena perbedaan pandangan itulah, jatuhnya ortu sering melakukan komunikasi yang berbentuk wawancara, interogasi atau perintah pada anak, termasuk paksaan. 

Contoh lain dari gagalnya komunikasi misalnya, kita merasa bahwa makan itu perlu, maka kita ngecek, meyakinkan bahwa anak harus makan. 
"kamu udah makan belum?"
"udah"
"yang bener?"
"iya.."
"bohong!"

Lah...emang perut transparan? kita bertanya, tapi kita sendiri sering gak percaya sama informasi yang diberikan si anak. Padahal kepercayaan itu kunci efektif komunikasi. Kalo curiga terus, ya ortu jadinya ga asik, anak males ditanya-tanyai begitu. Pilihannya kan antara percaya atau tidak percaya. Itu aja. 

Mungkin si anak bisa jadi berbohong, dia belum makan tapi demi ibunya gak ngomel dia bilang udah. Dia belum makan karena lagi gak mau makan (gak  mau makan ini kan urusannya sama enak/ga enak, bukan perlu/ga perlu). Tapi ketika selanjutnya mereka ngerasa lemes, lapar dan haus..baru deh, mereka mau makan. Jadi, berhenti ya bilang sama anak "ayo kamu makan dulu, biar gak lapar.." maka seumur-umur si anak gak akan pernah ngerasain laper, karena sebelum laper udah disumpel duluan...jangan heran kalo anak yang begini malah lebih sering mogok makan atau berontak, atau ya itu..berbohong.

6. Biarkan anak belajar kecewa. Jaman sekarang ini kondisinya udah sedemikian mudah untuk anak mendapatkan apa yang diinginkan, sementara tidak yang semua ia inginkan itu perlu dan tidak semua mampu diberikan orangtuanya, maka anak harus diajari untuk kecewa bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ia selalu dapatkan. Kalo anak jaman dulu gak belajar kecewa karena kondisinya dulu serba susah, jadi tanpa diajari anak sudah bisa merasakan kecewa. Ortu sekarang yang jor-joran ngasih anak ini itu, jangan sampe bermotif balas dendam "yah, daripada dulu kaya gue mau apa-apa susah, mumpung sekarang gue ada duit, apapun yang anak gue mau gue kasih". False premises!

Kesanggupan anak untuk berjuang (mendapatkan yang ia mau), sekiranya sudah bisa dilakukan minimal 4th - 7th (bahkan 3th udah bisa kalo dilatih lebih awal). Untuk mau berjuang, harus bisa bersepakat (bahwa untuk mendapatkan A, harus lewat perjuangan dulu). Untuk sanggup sepakat, harus sanggup kecewa. Kalau gak sanggup kecewa, anak akan maksa karena ia terbiasa mendapatkan yang ia mau.  

Begitu ada perilaku memaksa, ortu hendaknya mulai mengajari anak untuk kecewa. Ciptakan situasi dimana anak harus memilih, yang enak juga untuk dia. Kalau nggak sanggup memilih atau pingin dua-duanya, bilang dia gak akan dapet apa-apa, harus dibilang konsekuensinya karena dia gak mau milih.

Ajarkan juga anak melampiaskan kekecewaannya dengan aman, seperti tidak merusak barang, tidak menyakiti diri sendiri atau menyakiti orang lain. Perilaku-perilaku seperti tawuran antar pelajar, pengasuh mencelakai anak majikan, istri dendam ke suami, suami menganiaya istri, bahkan bunuh diri saat tidak lulus ujian itu pelampiasan ketidaksiapan untuk kecewa.

Tentang kecewa, bisa dibaca selengkapnya di catatan Mona.

Akhir dari sesi ini ada video lagi, narasi seorang bapak, yang menentang habis-habisan pilihan anaknya yang masih sekolah untuk jadi musisi. Menurut si bapak, yang baik itu adalah sesuai dengan keinginan bapaknya, bukan ngeband seperti kemauan anaknya. Saat ketahuan abis ngeband, anaknya diusir. Beberapa tahun kemudian band anaknya terkenal, dia diundang untuk nonton konser si anak. Sepanjang jalan menuju tempat konser, si bapak ini merenung bahwa dia telah banyak membuang-buang waktu di masa lalu dengan tidak menghargai pilihan anaknya....saat itu juga, truk besar menghantam mobil si bapak. Dan akhirnya si bapak gak pernah sempet untuk nonton pilihan anaknya atau bahkan hanya sekadar meminta maaf.  
  
Satu quotes dari Aa Gym yang dikutip selesai video ini :


Kesempatan untuk memperbaiki diri selalu terbuka lebar. Hanya saja, ada yang bersegera, terlambat, menunda-nunda, bahkan lari darinya. 
Yang ini samar-samar saya denger, soalnya sambil nyusuin. Pengasuhan dikatakan berhasil, ketika :

- worryless, semakin anak besar semakin kecil kekhawatiran kita
- makin anak besar, makin bisa dikelola (bukan dikusiri)

7. Nangis, emosi/strategi ?
Sebenernya bisa keliatan kok, anak itu nangisnya emosional atau strategi. Kalo belum bisa bedakan, ortu harus belajar ya sehingga bisa memberikan tanggapan yang berbeda juga sesuai alasan/tujuan anak nangis.

Kalo emosi itu hubungannya dengan merasa sedih, marah, gembira, kesal, marah dll tapi habis itu selesai. Kita cuma perlu sediakan hati, setelah anak merasa nyaman sudah mengeluarkan emosinya, dia akan kembali bertingkah normal. Emosi itu harus dikeluarkan, jadi jangan mengekang emosi anak untuk tidak boleh nangis ketika dia merasa sakit atau takut. Difasilitasi secara pasif saja, agar mereka tau kita ada untuk mereka tanpa berusaha 'melakukan sesuatu' yang justru akan menghambat pengeluaran emosi anak.

Kalo emosinya sudah mulai meledak-ledak tidak terkontrol, misal jengkangin badan, lempar-lempar barang, menyakiti orang lain, maka ortu bisa mengamankan anak sebagai pelaku. Caranya bisa dengan memeluk, membedong, atau bawa anak ke pojok time out. Setelah emosi mereda, ortu bisa menginformasikan kenapa hal tersebut dilakukan agar anak tidak salah paham.

Letupan emosi ini paling terjadi sekitar 2-3 menit, tapi biasanya ortu kurang sabar menunggu sekian menit itu sehingga dengan alasan gak tega, ortu berusaha menenangkan, menghibur si anak yang justru ditangkap sebagai sinyal bahwa ortu rela melakukan apa saja agar anak terhibur, di sinilah perubahan tangis yang tadinya selesai di 2 menit pertama berubah jadi strategi sekalian minta digendong, dibelikan mainan, lanjut nangisnya sampe setengah jam. Heelllooo....?? 

Ngadepin tangisan anak itu pake perasaan, masuk ke cara berpikir anak-anak. Ya itu tadi, enak/ga enak (rasa) bukan perlu/ga perlu (rasional).

Sedangkan strategi, ada kesengajaan yang ingin dia capai dari menangis, tujuannya mengendalikan orang bisa ortu atau pengasuhnya. Bisa berupa nangis, marah-marah atau teror, ya tujuannya supaya orang lain merasa terganggu sehingga nurutin apa yang anak mau. Saat kita merasa kesal dan terganggu itulah, kita sering nyerah akhirnya setuju untuk melanggar apa yang sudah disepakati, meskipun sambil ngomel, tapi ternyata omelan itu ditanggapi anak sebagai apresiasi terhadap kelakuannya. Selanjutnya, anak akan terus berstrategi seperti ini karena dengan cara begitu ia akan diperhatikan.

Inget iklan susu yang anaknya pengen ngajak kuda-kudaan ayahnya dengan cara ngambil agenda ayahnya ditaro dibawah? itu adalah strategi, usaha dia untuk menganggu ayahnya lewat sesuatu yang ayahnya miliki, karena dia sudah colek ayahnya tapi dicuekin. Kalo anak cari perhatian ayah, maka dia akan ganggu ibunya karena kalo langsung ganggu ayah gak akan digubris. Hmm, iya juga ya.. 


Oleh karena itu, saat anak berstrategi, ortu harus siap cuek lahir batin. Berikan dia pemahaman bahwa bukan dengan cara begitu ia meminta sesuatu. Tapi ortu juga jangan setengah-setengah misal awalnya bilang "enggak" lima menit kemudian gatel kuping trus bilang "ya udah ya udah, mama beliin..tapi kamu berhenti nangisnya". Yaaahh ketauan modusnya itu mah -____-

Ada tiga strategi yang dijalankan anak :
a. Asertif
    Cara : provokasi/mengganggu. Contoh : iklan susu di atas
b. Agresif
    Cara : menjajah, intimidatif/mengancam. Contoh : "mama mau aku ribut gak? kalo enggak beliin aku eskrim dulu!"
c. Non-Asertif
    Cara : pasif-sensitif. Contoh : dia pengen makan roti, trus nanya ke ortunya "roti itu enak ya, pa? papa mau gak?", dia ngajakin ortu melakukan sesuatu lewat rasa, dengan cara ini papa akan membelikan roti

Cuek lahir batin itu artinya gak menganggap adegan strategi yang dilakukan anak itu terjadi, gak dibahas juga setelahnya dan itu gak gampang. Butuh latihan berkali-kali biar kuping kebal denger teriakan, biar hati gak teriris-iris denger tangisan. Lebih susah lagi adalah jadi ortu yang konsisten dalam menjalankan proses belajar hal-hal seperti ini.

Saya pernah tanya ke om Ge, bagaimana ketika strategi anak ini terjadi di luar rumah, atau teriakannya udah sangat mengganggu tetangga (mengingat yaa, komplek rumah gue temboknya dempetan bener ama sebelah), jawabannya ketika suasana dinilai tidak layak untuk belajar, ya berhenti aja belajarnya. Gratisin aja kemauan si anak, ini lebih baik daripada tidak konsisten.

Segitu mungkin, rangkuman seminar kemarin yang sempet saya tulis. Selebihnya bisa blogwalking ke ortu-ortu lain yang juga pernah menghadiri seminar seperti ini, jadi saling melengkapi informasi.

Saat sesi tanya jawab, ada satu hal penting yang saya catat betul-betul : tentang kakak-adik.


Ortu bijak, gak pernah minta kakak jagain adik, karena jagain adik itu tugas ortu, bukan tugas kakak. Boleh minta tolong kakak temenin adik, ajak main adik, tapi bukan jagain adik. Kenapa? karena otomatis ini memposisikan bahwa adik lebih lemah, dan kakak lebih kuat. Samapun ketika kita minta kakak mengalah sama adik.


Ajarkan juga tentang kepemilikan. A mainan kakak, B mainan adik. Ketika adik ingin pinjam A, kakak boleh saja menolak untuk meminjamkan, tapi biasanya kan kita bilang "eh gak boleh gitu dong sama adiknya, ayo pinjemin.." haks!

Sebaliknya, ajarkan si peminjam untuk meminta izin kepada si pemilik. Adiklah yang harus diajarkan untuk meminta izin pinjam mainan kepada kakak, bukan kakak yang diajarkan 'ngalah' sama adiknya. Analoginya seperti kenapa pintu rumah ada kuncinya, karena sebetulnya tuan rumah itu raja, dia yang punya otoritas siapa yang dibolehkan masuk rumahnya. Kalo semua bisa keluar-masuk rumah ya ngapain ada kunci, ngapain ada pager. 

Ketika kakak-adik bersengketa, ortu hendaknya tidak berfungsi sebagai hakim, melainkan wasit. Contohlah wasit tinju, dimana ia cuma ngeliatin dan ngawasin cara-cara sengketa. Kalau ada yang salah dan tidak adil bagi salah satu pihak, baru ditengahi, dikasih tau cara-cara bersengketa yang aman. Contoh : kalo tonjok-tonjokan itu artinya adil, karena sifatnya resiprokasi. Sedangkan ditonjokin, itu gak adil, barulah ortu turun tangan.

Kalo mereka bersengketa dengan aman, biarkan saja supaya mereka juga terbiasa menyelesaikan masalah. Ini kan konteksnya pengasuhan dan pendidikan anak ya, beda lagi sama gontok-gontokan orang dewasa rebutan harta warisan misalnya.

Ketika ada persengketaan, baik dengan saudara sendiri atau dengan anak lain, anak akan cenderung mencari ortu. Tapi ada tiga hal yang mendasari mereka datang ke kita :
1. Anak main sama temennya trus terdorong hingga jatuh, dia datang ke kita sambil nangis.                             Setelah nangis, balik lari-lari lagi. ---> ortu jadi tempat curhat. Tampung saja, sediakan hati.
2. "Ma, aku mau pinjem mainan si A..." -->  ortu jadi bemper, minta kita yang selesaikan masalah (memintakan izin kepada si A). Hal ini mendorong anak gak belajar selesaikan masalah sendiri.
3. "Ma, kakiku panas main di pasir, gimana dong?" --> ortu jadi kamus. Fungsi ortu sebagai konsultan, kasih tau caranya bagaimana selesaikan masalah lalu biarkan dia melakukannya sendiri (kasih tau kalo kakinya gak mau panas harus pakai sendal)

Sejujurnya saya banyak merasa tertampar-tampar di seminar ini, tapi senang bisa langsung diskusi sama ayah ngebahas contoh kasus yang pernah kita alamin sama anak jadi bisa bikin kesepakatan gimana nanggapinnya. Semoga aja konsisten.

Balik lagi, gak ada cara yang benar dan salah dalam mendidik dan mengasuh anak ya. Kembali lagi kita kenali karakter keluarga masing-masing. Ilmu mah tetep aja harus terus dicari dan dipelajari. 

Next Post Previous Post
3 Comments
  • Sari Rasidah
    Sari Rasidah 16 Mei 2013 pukul 18.23

    salam kenal,,,aku kemaren juga ikut ni seminar mbak,,bener2 tertampar dan makjleb banget..jadi ortu ternyata kudu smart juga ya..

  • ndutyke
    ndutyke 17 Mei 2013 pukul 03.44

    minta ijin buat share ya mbakyu :)

  • Unknown
    Unknown 18 Januari 2014 pukul 07.25

    mbk ijin share ya..

Add Comment
comment url